Oleh: Rofinus Emi Lejap
![]() |
Pohon Mangrove/bakau |
Akhir 2002, saya berlayar dari pelabuhan Tanjung Priok
dengan tujuan Larantuka, Flores Timur, NTT. Saya sekamar dengan tiga penumpang
lain, yaitu seorang pengusaha dengan tujuan Kalimantan Timur, seorang pendeta
tujuan Makasar, dan seorang lagi dari Makasar yang baru pulang dari Tokyo
diundang PBB atas keberhasilan petualangannya menanam pohon bakau atau mangrove
di pantai Jeneponto . Dari Beliau, orang yang ketiga yang adalah seorang dosen,
saya mendengar tentang kehebatan mangrove.
Pak dosen berasal dari Jeneponto, Sulawesi Selatan. Dijelaskannya
bahwa Jeneponto berasal dari dua kata, yaitu jene artinya air, dan ponto
artinya tersumbat. Jadi Jeneponto artinya Air
Tersumbat. Karena ‘air tersumbat,’ maka tidak ada sumber air, sehingga
daerah itu sangat kesulitan air. Dengan berbekal sedikit pengetahuan tentang
pohon bakau, ia melakukan penanaman bakau seorang diri.
Beliau menanam pohon mangrove sepanjang sekitar 5 km
di pesisir selatan pantai Jeneponto yang dijalankannya selama 2 tahun. Orang-orang
menertawakannya dan mengatakan bahwa itu perbuatan yang sia-sia. Tetapi apa
yang terjadi? Lima tahun kemudian sumber air kecil bermunculan dan orang mulai
menggali sumur di mana-mans. Oleh pengalaman itu ia diundang PBB untuk mensharingkan
keberhasilannya. Dari beliau saya mendengar jua tentang kehebatan lain dari
bakau atau mangrove. (Akan disajikan
dalam artikel yang lain).
Saya teringat di pantai barat pulau Lembata, dulu banyak
ditumbuhi pohon bakau, tetapi semakin berkurang oleh abrasi dan penebangan
serta pengrusakan oleh ulah manusia. Dan pada umumnya di pinggir hutan itu
dapat digali sumur dengan kedalaman kurang dari satu meter. Bahkan tidak jauh
dari SMP Ampera sumber air mengalir cukup deras, tetapi orang mungkin tidak menyadari
bahwa munculnya sumber-sumber air adalah berkat ‘jasa’ dari hutan bakau.
Pohon bakau ternyata bukan pengganggu keindahan pantai
tetapi justru sangat berguna bagi manusia, kelestarian alam, dan habitat
berbagai biota laut dan margasatwa lain. Terimakasih Pak Dosen, informasi yang sangat berguna. Saya
bertekad meneruskannya!
Ketika di Makasar tidak ada penumpang lain di dalam kamar,
saya keluar mencari kawan dan bergabung dengan penumpang dari Lembata. Bapak
Simon Huar Noning berasal dari Watuwawer dan waktu itu sudah menetap di
Waiteba, dan bapak Petrus Matarau dari Muraone, Ile Ape. Kedua beliau ini
sangat bersemangat menceritakan keberhasilan usahanya masing-masing. Bapak
Simon bercerita tentang keberhasilannya membuat sirup dari buah semu jambu mete
dan pemeliharaan rumput laut.
Sedangkan pak Petrus bercerita tentang pembuatan
batu bata, kelompok nelayan dan penanaman rumput laut. Dan saya sendiri
memasukkan konsep manfaat bakau. Sangat asyik berlayar dengan orang-orang yang
kaya pengalaman. Dan di dalam hati saya tumbuh keyakinan bahwa bekerjasama
dengan mereka yang berjiwa memelihara seperti itu, sebuah pulau dapat
diselamatkan dengan menanam bakau atau mangrove.
***
Terimakasih atas tulisan yang sudah saudara buat, karena ini sangat bermanfaat bagi saya. Kunjung balik ya....
BalasHapus